Terima kasih tak terkira saya sampaikan buat rekan-rekan dalam ekspedisi "Perjalanan Cinta untuk Sebuah Cita" ini, hanya Allah SWT yang bisa memberikan balasan atas kebaikan dan pengorbanan kalian semua... Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemudahan dan keberkahan dalam segala urusan kalian...
Sungguh mengharukan melihat pengorbanan kalian untuk 'sekedar' menghadiri undangan kami, salam takzim dan rasa hormat yang setinggi-tingginya buat kalian semua...
Link:
Priyo Kuncoro Justice 3.6: Perjalanan Cinta untuk Sebuah Cita 1st
____________________
Petang
itu kami mempersiapkan diri. Berkumpul di rumah kami untuk menuju
Banjarnegara. Menghadiri walimahan sepasang kakak kelas yang menikah dan
menyatukan diri dalam syariat yang suci. Belia- yang kami maksud adalah
Kang Ihwan Sururi dan Mbak Nur Qomariyah yang beken dengan nama Mbak Inunk (pake K). Sebagai muslim yang baik kami tentu saja memenuhi undangan. Karena secara fiqih hukum memenuhi undangan adalah wajib. So, demi menjalankan syari’at Islam kami kuatkan tekad untuk datang ke Banjarnegara. The City of Beautiful Dawet!
Petang
ba’da ‘ashar akh Heri datang ke Rumah langsung meluncur dari Boyolali
ke rumah ana di Sleman. Naik Honda Grand! Jelas kewanen. Apalagi katanya
lampu motornya mati. Weleh-weleh…bocah nekad!
Ba’da
maghrib giliran akh Umar datang ke rumah ana boncengan bareng adiknya
yang kuliah di UTY. Adiknya kang Umar namanya Ulil, bukan Unyil! Naik
Honda Karisma yang remnya nggak pakem banget. Luar biasa nekad!
Setelah
dinner di rumah ana, yang masakin adik ma ibu, kami memutuskan akan
berangkat dengan dua motor. Motor yang pertama adalah motor ana, sebuah
Honda Grand Legenda! Motor ringkih yang amat sangat jarang sekali ana
ajak jalan jauh. Biasanya Cuma buat nganter kakak ke tempat kerja atau
nganter ibu ke pasar. Paling banter ngangkut beras atau gabah dari
kelurahan, kalau ada. Motor ana adalah motor rumahan anak mama, jarang
ngebut dan nggak bisa ngebut. Jalannya stabil kalau lari 60 km/jam.
Selebihnya akan sangat kerasa mengerang. Motor kedua adalah Karisma
tanpa rem pakem itu.
Berhubung
yang berangkat Cuma tiga orang, kami cari mangsa. Akhirnya dapat anak
tingkat 2 yang namanya Sarjiyono. Lumayan buat ganjel boncengan motor.
Biar ada yang diboncengin akh Umar. Buat temen ngobrol. Kami gondol dari
rumahnya di kawasan Kotagede. Selama satu jam, kami masih berkutat di
dalam wilayah Jogja.
Awalnya
ana pikir kami akan berangkat lewat jalur selatan. Ana Cuma pakai jaket
sekedarnya dan slayer dari iket atau kudang. Baju satu di dalam. Batik
buat acara ana masukin di dalam tas. Bareng kafiyah hijau yang sekarang
entah ada dimana. Kayaknya dipinjam seseorang pas munasharah Palestina…
Ternyata!
Kami
akan melalui jalur utara. Tentunya tanpa tau sama sekali jalan menuju
ke Banjarnegara. Menyusuri barisan dataran tinggi Jawa Tengah! Modal
nekad ana tetep pede. Berhubung mata ana udah minus, ana Cuma jalan aja
sekitar 50-60km/jam. Soalnya pernah kejadian ana jalan agak cepet,
tiba-tiba nancep di tumpukan pasir di pinggir jalan. Pasir basah warna
hitam yang nggak ada benderanya. Dasar Kun-kun!
Jam
sembilan malam lebih kami baru melewati perbatasan Jogja-Jateng di
kabupaten Magelang. Ana ngebayangin jam berapa kami bakal sampai di
Banjarnegara. Pasti menjelang subuh nih….
Menyusuri jalanan Muntilan yang sangat sepi, berlanjut ke kota Magelang yang lebih sepi. Kayak kota
mati. Padahal baru sekitar jam sepuluhan. Dibantu marka jalan, kami
menuju Banjarnegara. Tentunya dengan panduan Mas Yadi yang akan
memberikan tempat menginap bagi kami. Setelah istirahat beberapa kali.
Nanya orang beberapa kali juga. Dimulailah nikmatnya perjalanan.
Di sebuah taman kota, tak lupa kami istirahat. Apa yang kami lakukan? Foto-foto lah….
Memasuki
kawasan Temanggung. Jalanan yang terus menerus naik ternyata tidak
mampu dikuasai Legend. Akhirnya dengan tersengal-sengal, knalpotnya
mengeluarkan asap putih… wusssss……. Ana nggak liat sih, soalnya yang
liat akh Umar yang ada di belakang ana. Merasa bahwa tunggangan ana
butuh istirahat, kami berhenti di sebuah puncak tanjakan. Hawa dingin
begitu menusuk ana. Jaket reward Dinamika 2007 bukan lawan yang tangguh
bagi angin puncak gunung. Bahkan dinginya udara mampu membuat mesin
motor dan knalpot mengeluarkan asap semburat. Padahal kami sedang
berhenti.
Tentunya,
dengan segala kenarsisan kami dan tingkat percaya diri melebihi ikhwan
yang lain, kami foto-foto lagi. Lumayan buat nginget betapa masa muda kami penuh petualang. Bisa buat cerita ke anak isteri besok-besok. Nggak menang lah kalo sama Laskar Pelawak!
Dinginnya
udara juga membuat ana pingin banget ke belakang. Cuman susah nyari
mesjid. Terpaksa ana tahan beberapa lama. Beberapa jam!
Akhirnya
perjalanan kami lanjutkan. Awalnya sekedar kabut putih yang tebal
menutupi kacamata ana. Ana copot aja daripada ngganggu. Efeknya ana kudu
lebih ati-ati naik Legend. Dan subhanallah…
Hujan
turun…. Kami sempat istirahat dan melanjutkan perjalanan. Dalam selimut
tebal kabut gunung kami menghalau gelisah. Memancang tekad dalam hawa
pekat dingin. Cakrawala pandang kami tidak lebih dari lima
meter. Dan Allah Maha Penolong terhadap makhuqnya. Sebuah mobil terbuka
pengangkut barang berada tepat di depan kami. Dengan lampu belakangnya
ana menyusuri jalanan bergelombang naik turun perbukitan dalam terpaan
hujan di dini hari. Ibarat anak bebek, ana mengikuti alur lampu belakang
mobil itu. Tanpa kacamata dan kaca helm setengah tertutup ini
bener-bener mukjizat. Syukur alhamdulillah…
Hawa dingin. Hujan. Kabut tebal. Jaket Dinamika. Pengendara motor. Tanpa sarung tangan.
Wal
hasil, tangan ana beku. Kaku. Dua jari sampai tidak bisa ditekuk.
Semuanya kisut seperti habis nyuci baju. Luar biasa pengorbanan ini.
Tapi niat dan tekad kami memang sekuat baja. Tidak ada kata mundur.
Soalnya kalau mundur lebih jauh daripada maju. Jadi kami milih maju
terus aja. Mengharapkan di rumah mas Yadi ada kopi hangat atau wedang
jahe dengan penganan hangat penggugah selera. Mencicipinya penuh nikmat
karena dingin dan lelah.
Ooops… sadar Kun. Kembalilah ke dunia nyata. Perjalanan masih jauh, jangan melamun aja! Pikirannya lebay….
Perjalanan terus
berlanjut. Dan akhirnya kami sampai. Sampai di tempat yang sudah ana
harapkan selama berjam-jam. Rasanya sangat bahagia melihatnya. Dengan
segera ana berhenti, turun dari motor dan setengah berlari ke sebelah
kanan masjid itu. Melampiaskan hasrat yang sudah terpendam.
Setelahnya, tak lupa kami berfoto ria. Dan kata akh Umar, ana terlihat cukup ‘cantik’…..
Jalan
lagi hingga menyusuri hutan belantara di kanan kiri jalanan.
Topografinya menurun terus. Di satu sisi ana seneng karena Legend gak
harus kerja keras. Namun, di sudut yang lain ana khawatir juga gimana
besok pulangnya. Kalau sekarang turun terus, berarti besok pas pulang
pasti naik terus. Tidak! Legend bisa keok besok sore. Ya Allah, gimana
dong…. Huh! Pancangkan tekad!
Ketika
perut mulai terasa lapar. Ana nyari-nyari di sekitar jalan itu, dimana
ada warung yang buka. Setelah berkilo-kilo tidak ada satupun warung
buka. Ana menemukan satu warung bensin yang buka. Untung kembali teraih.
Kacang atom mampu sdikit mengganjal perut kami di perjalanan itu.
Ditambah sedikit snack ringan model kerupuk ubi gitu…
Perjalanan berlanjut….
mendaki gunung turuni lembah
sungai mengalir indah ke samudera
bersama ikhwan bertualang!
tempat yang baru belum pernah terjamah
suasana yang sepi di tengah hutan
selalu waspadalah kalau di jalan
hey! ikhwan yang trendy
Kami memasuki kawasan city of beautiful dawet. Selepas kota
yang begitu njelimet. Kami berhenti di alun-alun Banjarnegara. Di depan
sebuah masjid, kami bergaya bak model iklan sabun.Beginilah ikhwan yang
katanya sok serius. Kalau di depan kamera tetep aja muncul
narsisnya….lagi!
Berusaha
menelepon mas Yadi. Tidak! Beliaunya sudah tertidur. Jam menunjukkan
sekitar pukul dua pagi. Ketika akhirnya diangkat, suara mas yadi
terdengar berat. Katanya kami masih harus melanjutkan perjalanan lagi.
Yah sekitar 20 kilometer lagi kalo nggak salah. Weleh-weleh….
Sebentar
istirahat kami menuju ke kawasan PLTA Jenderal Soedirman dimana di
kawasan itulah lokasi rumah Mas Yadi. Di dalam kawasan kami tersesat.
Nanya seorang tua yang lagi ngerondha. Ho..ho… salah ambil jalur
ternyata. Terpaksa puter balik. Nanya lagi. Nanya lagi. Nelpon mas Yadi.
Katanya di sebelah persis sekolah apa gitu. Ternyata dibo’ongi.
Sebelahnya sebelahnya sebelahnya. Sempet tersesat juga mau masuk ke
kuburan.
Finally!
Rumah
mas Yadi yang sangat menggairahkan. Ternyata di dalam sudah terkapar
seonggok manusia bernama Gunawan. Anak Kudus yang tidak kudus. Beliau
ini dulu se-subbid di bidang Acara Dinamika 2007 sama mbak InunQ (pake
Q).
Suguhan
pun segera berdatangan. Coklat lumer panas. Padahal suara ana udah
serak-serak basah begini. Cocok banget lah buatnya nyanyi lagunya Bang
Rhoma. Ditambah nyamik’an yang ciamik! Segera saja kami serbu dengan
malu-malu mau.
Sok gaya gak langsung istirahat, kami ngobrol-ngobrol sama mas Yadi. Tidak lupa foto-foto lagi.
______________________________________________________
No comments:
Post a Comment