September 28, 2011

Perjalanan Cinta untuk Sebuah Cita

Terima kasih tak terkira saya sampaikan buat rekan-rekan dalam ekspedisi "Perjalanan Cinta untuk Sebuah Cita" ini, hanya Allah SWT yang bisa memberikan balasan atas kebaikan dan pengorbanan kalian semua... Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemudahan dan keberkahan dalam segala urusan kalian...

Sungguh mengharukan melihat pengorbanan kalian untuk 'sekedar' menghadiri undangan kami, salam takzim dan rasa hormat yang setinggi-tingginya buat kalian semua... 

Link:
Priyo Kuncoro Justice 3.6: Perjalanan Cinta untuk Sebuah Cita 1st 

____________________

Petang itu kami mempersiapkan diri. Berkumpul di rumah kami untuk menuju Banjarnegara. Menghadiri walimahan sepasang kakak kelas yang menikah dan menyatukan diri dalam syariat yang suci. Belia- yang kami maksud adalah Kang Ihwan Sururi dan Mbak Nur Qomariyah yang beken dengan nama Mbak Inunk (pake K). Sebagai muslim yang baik kami tentu saja memenuhi undangan. Karena secara fiqih hukum memenuhi undangan adalah wajib. So, demi menjalankan syari’at Islam kami kuatkan tekad untuk datang ke Banjarnegara. The City of Beautiful Dawet!

 
Petang ba’da ‘ashar akh Heri datang ke Rumah langsung meluncur dari Boyolali ke rumah ana di Sleman. Naik Honda Grand! Jelas kewanen. Apalagi katanya lampu motornya mati. Weleh-weleh…bocah nekad!
Ba’da maghrib giliran akh Umar datang ke rumah ana boncengan bareng adiknya yang kuliah di UTY. Adiknya kang Umar namanya Ulil, bukan Unyil! Naik Honda Karisma yang remnya nggak pakem banget. Luar biasa nekad!

Setelah dinner di rumah ana, yang masakin adik ma ibu, kami memutuskan akan berangkat dengan dua motor. Motor yang pertama adalah motor ana, sebuah Honda Grand Legenda! Motor ringkih yang amat sangat jarang sekali ana ajak jalan jauh. Biasanya Cuma buat nganter kakak ke tempat kerja atau nganter ibu ke pasar. Paling banter ngangkut beras atau gabah dari kelurahan, kalau ada. Motor ana adalah motor rumahan anak mama, jarang ngebut dan nggak bisa ngebut. Jalannya stabil kalau lari 60 km/jam. Selebihnya akan sangat kerasa mengerang. Motor kedua adalah Karisma tanpa rem pakem itu.
Berhubung yang berangkat Cuma tiga orang, kami cari mangsa. Akhirnya dapat anak tingkat 2 yang namanya Sarjiyono. Lumayan buat ganjel boncengan motor. Biar ada yang diboncengin akh Umar. Buat temen ngobrol. Kami gondol dari rumahnya di kawasan Kotagede. Selama satu jam, kami masih berkutat di dalam wilayah Jogja.

Awalnya ana pikir kami akan berangkat lewat jalur selatan. Ana Cuma pakai jaket sekedarnya dan slayer dari iket atau kudang. Baju satu di dalam. Batik buat acara ana masukin di dalam tas. Bareng kafiyah hijau yang sekarang entah ada dimana. Kayaknya dipinjam seseorang pas munasharah Palestina…
Ternyata!

Kami akan melalui jalur utara. Tentunya tanpa tau sama sekali jalan menuju ke Banjarnegara. Menyusuri barisan dataran tinggi Jawa Tengah! Modal nekad ana tetep pede. Berhubung mata ana udah minus, ana Cuma jalan aja sekitar 50-60km/jam. Soalnya pernah kejadian ana jalan agak cepet, tiba-tiba nancep di tumpukan pasir di pinggir jalan. Pasir basah warna hitam yang nggak ada benderanya. Dasar Kun-kun!
Jam sembilan malam lebih kami baru melewati perbatasan Jogja-Jateng di kabupaten Magelang. Ana ngebayangin jam berapa kami bakal sampai di Banjarnegara. Pasti menjelang subuh nih….

Menyusuri jalanan Muntilan yang sangat sepi, berlanjut ke kota Magelang yang lebih sepi. Kayak kota mati. Padahal baru sekitar jam sepuluhan. Dibantu marka jalan, kami menuju Banjarnegara. Tentunya dengan panduan Mas Yadi yang akan memberikan tempat menginap bagi kami. Setelah istirahat beberapa kali. Nanya orang beberapa kali juga. Dimulailah nikmatnya perjalanan.
 
Di sebuah taman kota, tak lupa kami istirahat. Apa yang kami lakukan? Foto-foto lah….
Memasuki kawasan Temanggung. Jalanan yang terus menerus naik ternyata tidak mampu dikuasai Legend. Akhirnya dengan tersengal-sengal, knalpotnya mengeluarkan asap putih… wusssss……. Ana nggak liat sih, soalnya yang liat akh Umar yang ada di belakang ana. Merasa bahwa tunggangan ana butuh istirahat, kami berhenti di sebuah puncak tanjakan. Hawa dingin begitu menusuk ana. Jaket reward Dinamika 2007 bukan lawan yang tangguh bagi angin puncak gunung. Bahkan dinginya udara mampu membuat mesin motor dan knalpot mengeluarkan asap semburat. Padahal kami sedang berhenti.
 
Tentunya, dengan segala kenarsisan kami dan tingkat percaya diri melebihi ikhwan yang lain, kami foto-foto lagi. Lumayan buat nginget betapa masa muda kami penuh petualang. Bisa buat cerita ke anak isteri besok-besok. Nggak menang lah kalo sama Laskar Pelawak!
Dinginnya udara juga membuat ana pingin banget ke belakang. Cuman susah nyari mesjid. Terpaksa ana tahan beberapa lama. Beberapa jam!
Akhirnya perjalanan kami lanjutkan. Awalnya sekedar kabut putih yang tebal menutupi kacamata ana. Ana copot aja daripada ngganggu. Efeknya ana kudu lebih ati-ati naik Legend. Dan subhanallah…
Hujan turun…. Kami sempat istirahat dan melanjutkan perjalanan. Dalam selimut tebal kabut gunung kami menghalau gelisah. Memancang tekad dalam hawa pekat dingin. Cakrawala pandang kami tidak lebih dari lima meter. Dan Allah Maha Penolong terhadap makhuqnya. Sebuah mobil terbuka pengangkut barang berada tepat di depan kami. Dengan lampu belakangnya ana menyusuri jalanan bergelombang naik turun perbukitan dalam terpaan hujan di dini hari. Ibarat anak bebek, ana mengikuti alur lampu belakang mobil itu. Tanpa kacamata dan kaca helm setengah tertutup ini bener-bener mukjizat. Syukur alhamdulillah…
 
Hawa dingin. Hujan. Kabut tebal. Jaket Dinamika. Pengendara motor. Tanpa sarung tangan.
Wal hasil, tangan ana beku. Kaku. Dua jari sampai tidak bisa ditekuk. Semuanya kisut seperti habis nyuci baju. Luar biasa pengorbanan ini. Tapi niat dan tekad kami memang sekuat baja. Tidak ada kata mundur. Soalnya kalau mundur lebih jauh daripada maju. Jadi kami milih maju terus aja. Mengharapkan di rumah mas Yadi ada kopi hangat atau wedang jahe dengan penganan hangat penggugah selera. Mencicipinya penuh nikmat karena dingin dan lelah.

Ooops… sadar Kun. Kembalilah ke dunia nyata. Perjalanan masih jauh, jangan melamun aja! Pikirannya lebay….
Perjalanan terus berlanjut. Dan akhirnya kami sampai. Sampai di tempat yang sudah ana harapkan selama berjam-jam. Rasanya sangat bahagia melihatnya. Dengan segera ana berhenti, turun dari motor dan setengah berlari ke sebelah kanan masjid itu. Melampiaskan hasrat yang sudah terpendam.
 

Setelahnya, tak lupa kami berfoto ria. Dan kata akh Umar, ana terlihat cukup ‘cantik’…..
Jalan lagi hingga menyusuri hutan belantara di kanan kiri jalanan. Topografinya menurun terus. Di satu sisi ana seneng karena Legend gak harus kerja keras. Namun, di sudut yang lain ana khawatir juga gimana besok pulangnya. Kalau sekarang turun terus, berarti besok pas pulang pasti naik terus. Tidak! Legend bisa keok besok sore. Ya Allah, gimana dong…. Huh! Pancangkan tekad!
 

Ketika perut mulai terasa lapar. Ana nyari-nyari di sekitar jalan itu, dimana ada warung yang buka. Setelah berkilo-kilo tidak ada satupun warung buka. Ana menemukan satu warung bensin yang buka. Untung kembali teraih. Kacang atom mampu sdikit mengganjal perut kami di perjalanan itu. Ditambah sedikit snack ringan model kerupuk ubi gitu…
Perjalanan berlanjut….
mendaki gunung turuni lembah
sungai mengalir indah ke samudera
bersama ikhwan bertualang!
tempat yang baru belum pernah terjamah
suasana yang sepi di tengah hutan
selalu waspadalah kalau di jalan
hey! ikhwan yang trendy
 

Kami memasuki kawasan city of beautiful dawet. Selepas kota yang begitu njelimet. Kami berhenti di alun-alun Banjarnegara. Di depan sebuah masjid, kami bergaya bak model iklan sabun.Beginilah ikhwan yang katanya sok serius. Kalau di depan kamera tetep aja muncul narsisnya….lagi!
Berusaha menelepon mas Yadi. Tidak! Beliaunya sudah tertidur. Jam menunjukkan sekitar pukul dua pagi. Ketika akhirnya diangkat, suara mas yadi terdengar berat. Katanya kami masih harus melanjutkan perjalanan lagi. Yah sekitar 20 kilometer lagi kalo nggak salah. Weleh-weleh….
Sebentar istirahat kami menuju ke kawasan PLTA Jenderal Soedirman dimana di kawasan itulah lokasi rumah Mas Yadi. Di dalam kawasan kami tersesat. Nanya seorang tua yang lagi ngerondha. Ho..ho… salah ambil jalur ternyata. Terpaksa puter balik. Nanya lagi. Nanya lagi. Nelpon mas Yadi. Katanya di sebelah persis sekolah apa gitu. Ternyata dibo’ongi. Sebelahnya sebelahnya sebelahnya. Sempet tersesat juga mau masuk ke kuburan.
Finally!

Rumah mas Yadi yang sangat menggairahkan. Ternyata di dalam sudah terkapar seonggok manusia bernama Gunawan. Anak Kudus yang tidak kudus. Beliau ini dulu se-subbid di bidang Acara Dinamika 2007 sama mbak InunQ (pake Q).
Suguhan pun segera berdatangan. Coklat lumer panas. Padahal suara ana udah serak-serak basah begini. Cocok banget lah buatnya nyanyi lagunya Bang Rhoma. Ditambah nyamik’an yang ciamik! Segera saja kami serbu dengan malu-malu mau.
Sok gaya gak langsung istirahat, kami ngobrol-ngobrol sama mas Yadi. Tidak lupa foto-foto lagi.


______________________________________________________



No comments: