September 12, 2011

KPR Syariah ada unsur spekulatif?


Setiap orang hampir pasti pernah berhutang, entah itu ada perjanjian resmi atau tidak. Kebutuhan akan sesuatu yang tidak dapat dipenuhi dengan dana seketika sekaligus, menjadikan hutang menjadi salah satu alternatif penyelesaian. Bukan hanya pada lingkup kehidupan pribadi atau keluarga, tetapi seperti kita ketahui setiap negara di dunia ini dalam mendanai kegiatan operasional pemerintahannya sebagian dilakukan dengan cara berhutang atau bahasa keren nya dengan penerbitan obligasi negara atau Surat Utang Negara.

Berhutang bukan lah cara terbaik dalam membiayai kehidupan baik pribadi maupun bernegara. Sumber krisis keuangan yang paling utama di dunia ini adalah HUTANG, sekali lagi HUTANG!. Negara yang katanya adi daya seperti Amerika Serikat yang memiliki cadangan emas terbesar di dunia pun bisa terkena krisis, tidak lain tidak bukan penyebabnya adalah hutang yang berlimpah. Dan sekarang bukan hanya AS saja yang dibayang-bayangi krisis keuangan, negara-negara yang katanya kuat di belahan Eropa sana pun sedang bersiap-siap menghadapi krisis, yang penyebabnya pun sama, hutang!. Maka pesan yang ingin saya sampaikan adalah jangan berhutang! (kecuali terpaksa... hehe..).

Lalu bagaimana bila tidak ada dana tapi ada kebutuhan yang semakin mendesak? ya terpaksa berhutang lah, daripada ngerampok? nyolong? nodong? korupsi? na’udzubillah... kalo yang ini biarpun terpaksa jangan dehh... hukuman nya berat, dunia akhirat boss!

KPR atau kredit pemilikan rumah atau ada yang menggunakan istilah PPR (pembiayaan pemilikan rumah) adalah salah satu fasilitas -hutang- yang disediakan oleh perbankan untuk pemilikan rumah. Bagi kalangan menengah ke bawah yang tidak memungkinkan memiliki properti dengan dana tunai, fasilitas ini menjadi andalan. Hampir setiap bank memiliki fasilitas ini, baik bank konvensional maupun syariah.

Perbedaan mendasar dari KPR bank konvensional dan KPR bank syariah adalah pada akad pada saat pelaksanaan KPR. Bank konvensional menggunakan akad hutang dengan bunga tertentu (baca: riba) sedangkan bank syariah menggunakan akad jual beli antara nasabah dan pihak bank. Pada KPR bank konvensional pihak yang terlibat dalam akad hanya 2 yaitu nasabah dan pihak bank: nasabah mendapatkan pinjaman dana dari bank dan nasabah mengembalikannya dengan cara mencicil ditambah bunga dengan besaran tertentu.

Sedangkan pada KPR bank syariah, ada 3 pihak yang terlibat yaitu nasabah, bank dan pihak developer. Dalam prosesnya, pihak bank dianggap membeli properti dari developer kemudian menjualnya kembali kepada nasabah dengan margin tertentu dan dibayar secara angsuran. Jadi pada transaksi ini skema yang terjadi antara nasabah dan pihak bank adalah skema jual beli secara leasing. Dalam jual beli, pihak penjual diperbolehkan mengambil untung dengan besaran tertentu atau yang kita sebut dengan margin. Dengan demikian pada skema ini tidak ada unsur riba di dalam nya.

KPR syariah juga memiliki keunggulan lain, diantaranya angsuran yang biasanya tetap sepanjang masa angsuran. Saya katakan biasanya, karena ada bank syariah yang memberlakukan evaluasi margin setiap periode tertentu. Namun dari kebanyakan bank syariah yang pernah saya survei, rata-rata menggunakan angsuran tetap sampai dengan akhir masa perjanjian. Berbeda dengan KPR bank konvensional yang mengikuti fluktuasi suku bunga, yang tentu saja bisa berubah tiap bulan. Hal ini menjadikan adanya unsur spekulatif bagi nasabah karena tidak adanya kepastian dalam besarnya hutang yang harus dibayar, tentu ini tidak transparan dan cenderung merugikan nasabah. Nasabah akan selalu dalam posisi yang lemah mengenai penentuan besarnya bunga yang harus dibayar.

Salah satu karakteristik akuntansi syariah adalah tidak boleh ada unsur spekulatif. Skema kredit pada bank konvensional jelas tidak memenuhi unsur syariah yaitu terdapat riba dan unsur spekulatif. Lalu bagaimana dengan KPR syariah? Kriteria pertama –tidak adanya unsur riba- telah terpenuhi, tapi bagaimana dengan unsur spekulatif?

Dari sudut pandang nasabah -sebagaimana kebanyakan KPR syariah yang menggunakan angsuran tetap sepanjang masa perjanjian-, tentu tidak ada unsur spekulatif. Tetapi bagaimana dari sudut pandang pihak bank? Dari survey kecil yang saya lakukan, besaran angsuran KPR syariah semuanya lebih mahal dibandingkan dengan angsuran KPR konvensional. Mengapa demikian? apakah dalam hal ini bukan berarti pihak bank juga sedang berspekulasi dengan fluktuasi bunga? sehingga mereka mengambil untung yang lebih besar untuk berjaga-jaga selama masa angsuran? Pihak bank pasti tidak mau rugi. KPR konvensional mengikuti fluktuasi suku bunga, sehingga mereka tidak melakukan spekulasi mengambil untung terlalu besar. Pengalaman saya mengambil KPR di bank syariah, jumlah margin yang harus dibayar dibanding jumlah pokok pembiayaan bisa mencapai hampir 140%, jadi misal pokok angsuran Rp. 100.000, margin nya Rp. 140.000 = total angsuran menjadi Rp. 240.000.

Ada yang bisa menjelaskan tentang masalah ini?

No comments: