Setiap orang hampir pasti pernah berhutang, entah itu ada perjanjian resmi
atau tidak. Kebutuhan akan sesuatu yang tidak dapat dipenuhi dengan dana
seketika sekaligus, menjadikan hutang menjadi salah satu alternatif penyelesaian.
Bukan hanya pada lingkup kehidupan pribadi atau keluarga, tetapi seperti kita
ketahui setiap negara di dunia ini dalam mendanai kegiatan operasional
pemerintahannya sebagian dilakukan dengan cara berhutang atau bahasa keren nya
dengan penerbitan obligasi negara atau Surat Utang Negara.
Berhutang bukan lah cara terbaik dalam membiayai kehidupan baik pribadi
maupun bernegara. Sumber krisis keuangan yang paling utama di dunia ini adalah
HUTANG, sekali lagi HUTANG!. Negara yang katanya adi daya seperti Amerika
Serikat yang memiliki cadangan emas terbesar di dunia pun bisa terkena krisis,
tidak lain tidak bukan penyebabnya adalah hutang yang berlimpah. Dan sekarang
bukan hanya AS saja yang dibayang-bayangi krisis keuangan, negara-negara yang
katanya kuat di belahan Eropa sana pun sedang bersiap-siap menghadapi krisis,
yang penyebabnya pun sama, hutang!. Maka pesan yang ingin saya sampaikan adalah
jangan berhutang! (kecuali terpaksa... hehe..).
Lalu bagaimana bila tidak ada dana tapi ada kebutuhan yang semakin
mendesak? ya terpaksa berhutang lah, daripada ngerampok? nyolong? nodong?
korupsi? na’udzubillah... kalo yang ini biarpun terpaksa jangan dehh... hukuman
nya berat, dunia akhirat boss!
KPR atau kredit pemilikan rumah atau ada yang menggunakan istilah PPR
(pembiayaan pemilikan rumah) adalah salah satu fasilitas -hutang- yang
disediakan oleh perbankan untuk pemilikan rumah. Bagi kalangan menengah ke
bawah yang tidak memungkinkan memiliki properti dengan dana tunai, fasilitas
ini menjadi andalan. Hampir setiap bank memiliki fasilitas ini, baik bank
konvensional maupun syariah.
Perbedaan mendasar dari KPR bank konvensional dan KPR bank syariah adalah
pada akad pada saat pelaksanaan KPR. Bank konvensional menggunakan akad hutang
dengan bunga tertentu (baca: riba) sedangkan bank syariah menggunakan akad jual
beli antara nasabah dan pihak bank. Pada KPR bank konvensional pihak yang
terlibat dalam akad hanya 2 yaitu nasabah dan pihak bank: nasabah mendapatkan
pinjaman dana dari bank dan nasabah mengembalikannya dengan cara mencicil
ditambah bunga dengan besaran tertentu.
Sedangkan pada KPR bank syariah, ada 3 pihak yang terlibat yaitu nasabah,
bank dan pihak developer. Dalam prosesnya, pihak bank dianggap membeli properti
dari developer kemudian menjualnya kembali kepada nasabah dengan margin
tertentu dan dibayar secara angsuran. Jadi pada transaksi ini skema yang
terjadi antara nasabah dan pihak bank adalah skema jual beli secara leasing.
Dalam jual beli, pihak penjual diperbolehkan mengambil untung dengan besaran
tertentu atau yang kita sebut dengan margin. Dengan demikian pada skema ini
tidak ada unsur riba di dalam nya.
KPR syariah juga memiliki keunggulan lain, diantaranya angsuran yang biasanya
tetap sepanjang masa angsuran. Saya katakan biasanya, karena ada bank
syariah yang memberlakukan evaluasi margin setiap periode tertentu. Namun dari
kebanyakan bank syariah yang pernah saya survei, rata-rata menggunakan angsuran
tetap sampai dengan akhir masa perjanjian. Berbeda dengan KPR bank konvensional
yang mengikuti fluktuasi suku bunga, yang tentu saja bisa berubah tiap bulan. Hal
ini menjadikan adanya unsur spekulatif bagi nasabah karena tidak adanya
kepastian dalam besarnya hutang yang harus dibayar, tentu ini tidak transparan
dan cenderung merugikan nasabah. Nasabah akan selalu dalam posisi yang lemah
mengenai penentuan besarnya bunga yang harus dibayar.
Salah satu karakteristik akuntansi syariah adalah tidak boleh ada unsur
spekulatif. Skema kredit pada bank konvensional jelas tidak memenuhi unsur
syariah yaitu terdapat riba dan unsur spekulatif. Lalu bagaimana dengan KPR syariah?
Kriteria pertama –tidak adanya unsur riba- telah terpenuhi, tapi bagaimana
dengan unsur spekulatif?
Dari sudut pandang nasabah -sebagaimana kebanyakan KPR syariah yang
menggunakan angsuran tetap sepanjang masa perjanjian-, tentu tidak ada unsur
spekulatif. Tetapi bagaimana dari sudut pandang pihak bank? Dari survey kecil
yang saya lakukan, besaran angsuran KPR syariah semuanya lebih mahal
dibandingkan dengan angsuran KPR konvensional. Mengapa demikian? apakah dalam
hal ini bukan berarti pihak bank juga sedang berspekulasi dengan fluktuasi
bunga? sehingga mereka mengambil untung yang lebih besar untuk berjaga-jaga
selama masa angsuran? Pihak bank pasti tidak mau rugi. KPR konvensional
mengikuti fluktuasi suku bunga, sehingga mereka tidak melakukan spekulasi
mengambil untung terlalu besar. Pengalaman saya mengambil KPR di bank syariah,
jumlah margin yang harus dibayar dibanding jumlah pokok pembiayaan bisa
mencapai hampir 140%, jadi misal pokok angsuran Rp. 100.000, margin nya Rp.
140.000 = total angsuran menjadi Rp. 240.000.
Ada yang bisa menjelaskan tentang masalah ini?
No comments:
Post a Comment